Sore
itu langit cerah, tiada mendung bertandang di langit biru. Seorang anak yang
ingin membeli Bakso yang bernama Eko. “Bang, beli bakso!”, teriak Eko mengejar
laki-laki muda yang mendorong gerobak hijaunya. Si Abang Bakso tersenyum,
menoleh kearahnya. Ia menghentikan jalannya.
“Pedes
atau ndak, Nak?”, tanyanya sambil meraih mangkok yang berbaris rapi di
hadapannya. Ia meracik bakso, mengambil mie putih, dan bawang goreng. Tangannya
lincah menyendok bahan bahan itu.
“Biasa
aja, Bang”, jawab Eko. Si Abang tersenyum, tak lama kemudian menyelesaikan
bakso yang dipesan Eko. Secepat kilat ia
raih semangkok bakso panas dari tangannya. Abang Bakso tersenyum, geleng kepala
menatapku melahap bakso, seperti singa kelaparan.
“Ini,
Bang … besok jualan lagi ya?”, kata Eko manja sambil menyodorkan dua lembar seribuan
ke Abang Bakso. “Insya Allah, Nak!”, jawabnya tersenyum. Memang Si Abang Bakso
selalu tersenyum.
Eko
tidak tahu sejak kapan menjadi penggemar berat bakso. Kata teman-temannya bakso
biasa-biasa saja alias tidak ada istimewa. Namun, baginya rasa bakso itu lain.
Jujur, mengingatkannya pada seorang “Ibu”. Tapi dia tidak tahu di mana wanita
perkasa itu berada saat ini. Namun dia harap ibunya ada di surga. Wanita
pertama kali memperkenalkan semua hal padanya itu, tak terkecuali bakso ini.
Mungkin Si Abang Bakso tidak tahu bahwa tidak tahu bahwa bakso yang ia buat,
yang ia racik seperti bikinan ibunya dulu.
Saat
kesepian, di setiap sore yang cerah, Eko selalu termenung menatap ke luar
jendela. Di kala itu ibunya Eko sepertinya datang membawakannya semangkuk bakso
hangat, yang sengaja dibuat untuknya dengan rasa cinta yang tulus tentunya.
Bahkan kasih itu masih terasa hingga kini, meskipun inbunya tidak pernah lagi
membawanya bakso seperti kebiasaannya tiga tahun lalu.
“Alluhu
Akbar! Alluhu Akbar!”, adzan Magrib berkumandang. Eko tak beranjak beranda
rumahnya. Benar-benar gelisah, sebentar-sebentar Eko melirik jam yang
bertengger manis di dinding ruang tamu rumah sederhananya. Kepalanya tak
henti-hentinya menengok ke kanan-kiri jalan, memastikan apakah Si Abang Bakso
lewat atau belum. Aneh biasanya ia lewat jam segini, belum magrib.
Eko
tidak sabar. Entahlah, mengapa Eko merasa kehilangan sesuatu yang sangat
berarti jika tidak makan bakso, di
tengah kecemasannya, terlihat Andi tetangganya lewat depan rumahnya. Ia
mengenakan baju hitam semuanya serba hitam.
Eko
menyapanya, “Takziah kemana, Ndi?”. Andi menoleh dan melambaikan tangan kepada
Eko, menghampiri Eko di beranda rumahnya.
“Aku
ke rumah Pardi” jawab Andi dengan pelan. “Pardi? Pardi siapa?”, tanya Eko
bingung. Andi menatap Eko heran. “Kenapa, Ndi?”, Tanya Eko memecah asyik
lamunnya. “Pardi Si Abang Bakso itu!”, Eko tersentak. “Pardi meninggal…..????”.
Dhuaarrrr!!!!!.
Kalau
Eko katakan petir, Eko pasti mengatakan bahwa suara itu suara petir. Tapi
badannya terasa berat, telapak kaki kecilnya tak kuasa menopang berat tubuhnya.
Eko rasakan terjatuh.
Walau
seorang penjual bakso, tapi telah memberikan semua hal baik pada Eko.
Membangkitkan memori ibunya hingga mengingatkannya untuk mendoakan ibunya. Kau
ajarkan nilai kerja keras, keuletan. Memberitahunya arti kesederhanaan. Eko
berkata, “Maafkan aku belum bisa membalas jasamu. Aku hanya membeli bakso yang
kau racik dengan sedikit uang. Tapi aku janji dan terus menunggu Pardi-Pardi
yang lain sepertimu, bu”. Eko akan mengingat terus atas jasa ibunya.
0 komentar:
Posting Komentar